Rabu, 16 Maret 2022

Tujuan Kita Bernegara?

Terus mencoba memahami bangsa kita yang sangat majemuk ternyata sangatlah menguras pikiran dan waktu yang panjang.

Entah berapa banyak pertikaian yang terjadi di tengah-tengah bangsa kita yang pangkalnya hanyalah karena ketidakterimaaan salah satu pihak terhadap keberadaan pihak lain di negara ini.

Masing-masing kita merasa mempunyai hak yang lebih daripada yang lain, saling mengklaim.

Dan jika klaim tersebut tidak diterima pihak yang lain, kita akan membawanya kedalam pertikaian.

Saling caci, saling melawan, saling menjatuhkan, saling menyakiti secara verbal bahkan fisik.

 

Kita menghadapi hari-hari yang selalu gaduh, menyesakkan jiwa menatap bangsa ini.

Kita seperti orang yang hanya mencoba mengisi waktu luang tanpa tujuan yang jelas bagi bangsa ini, yang penting ramai, tentunya dengan menjual simbol-simbol.

 

Kita menjadi masyarakat di negara yang tidak punya tujuan.

Kita terlupa tujuan kita bernegara.

 

Jika kita mengingat tujuan kita bernegara, tentu kita tidak akan disibukan dengan kebisingan pertikaian.

Jika kita mengingat tujuan kita bernegara, tentu kita akan meredam rasa sombong seperti halnya setan yang merasa lebih tinggi, lebih agung, lebih berhak.

 

 Tujuan kita bernegara selalu  ada dalam kepala kita, tapi kita melupakannya.

Tujuan kita bernegara sangatlah mulia, namun kita mengaburkannya.

Tujuan kita bernegara sangatlah tinggi, namun kita merendahkannya.

Kita merasa hanya tujuan masing-masing golongan kita lebih baik dan lebih utama daripada tujuan kita bernegara.

 

Tujuan kita bernegara termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

"...untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial..."

Inilah tujuan kita bernegara.

 

Namun kesombongan mengalihkan tujuan awal kita.

 

Mari kembali ke langkah awal, mari kembali ke tujuan awal bangsa ini, mari bergandengan bersama mewujudkan tujuan negara ini, mari saling jaga, mari berdamai dengan diri kita sendiri.

Jumat, 08 Maret 2019

Emansipasi Perempuan Sesuai Syariat


Jauh sebelum hari perempuan internasional digaungkan pada 8 Maret 1907, perempuan Islam sudah mencoba menggaungkan kebebasannya pada tahun 610-an.

Pada saat itu, perempuan muslimah berhasil mendapatkan kebebasannya.

Masa itu adalah ketika nabi Muhammad saw. masih hidup. Dan kondisi wanita muslimah digambarkan jelas sekali mendapatkan udara kebebasan.

Berdasarkan sekian banyak kisah, penelitian dan kajian, pada dasarnya yang menjadikan penghalang kebebasan perempuan hingga kini adalah dominasi visi dan persepsi yang bertolak belakang mengenai emansipasi perempuan tersebut.

Saya tidak hanya bicara tentang kebablasan emansipasi yang sering dipertentangkan, saya juga mengatakan bahwa dominasi visi dan persepsi itu juga datang dari laki-laki muslim yang menghalanginya, sekali lagi karena bertolaknya visi persepsi terhadap kebebasan perempuan sesuai dengan ajaran agama, seperti yang telah nabi Muhammad terapkan pada perempuan muslimah ketika nabi Muhammad saw. masih hidup.

Kita semua paham bahwa pemangsa perempuan muslimah adalah kejahiliyahan abad kedua puluh yang memamerkan aurat, melakukan seks bebas, dan mengekor terhadap barat. Namun dari dalam masyarakat muslim itu sendiri penghalang kebebasan perempuan muslimah adalah kejahiliyahan abad keempat belas, yaitu jahiliyah dalam sikap yang berlebihan, keras, dan taklid buta yang dimiliki oleh kaum laki-laki. Kedua jenis jahiliyah tersebut tidak sesuai sama sekali dengan syariat Allah, dan tentunya pemangsa paling ganas terhadap perempuan.

Kebebasan perempuan yang tercatat dalam hadist diantaranya, adalah:
1. Perempuan muslimah pada zaman nabi Muhammad saw menghadiri shalat isya dan subuh di masjid Rasulullah saw.
2. Perempuan muslimah pada zaman nabi Muhammad saw. menghadiri shalat Jum'at dan menghapal surat Qaaf langsung dari mulut Rasulullah saw. sendiri.
3. Perempuan muslimah pada zaman nabi Muhammad saw menghadiri shalat gerhana, meskipun waktunya panjang, bersama Rasulullah saw.
4. Perempuan muslimah beri'tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan di masjid Rasulullah saw.
5. Perempuan muslimah mengunjungi suaminya, yaitu Rasulullah saw., yang sedang beri'tikaf di masjid.
6. Perempuan muslimah memenuhi undangan ke pertemuan umum di masjid yang disampaikan oleh muazin Rasulullah saw.
7. Perempuan muslimah menuntut Rasulullah saw. memberikan pelajaran khusus bagi mereka, sebab kesempatan di masjid lebih banyak dikuasai oleh kaum laki-laki.
8. Perempuan muslimah mendatangi Rasulullah saw. untuk meminta fatwa tentang berbagai masalah, baik yang bersifat pribadi ataupun umum.
9. Perempuan muslimah menyuruh kaum laki-laki berbuat ma'ruf dan melarang mereka dari perbuatan munkar.
10. Perempuan muslimah menerima tamu, di antara mereka terdapat Rasulullah saw., dan menghidangkan makanan kepada mereka.
11. Perempuan muslimah menyediakan rumahnya untuk para tamu yang berasal dari kalangan muhajirin gelombang pertama.
12. Perempuan muslimah duduk bersama suaminya dan ikut santap malam bersama tamunya.
13. Perempuan muslimah melayani tamu laki-laki dalam suatu resepsi perkawinan dan menyuguhkan minuman segar kepada Rasulullah saw.
14. Perempuan muslimah ikut dalam beberapa peperangan Rasulullah saw., bertugas memberi minum para pasukan yang kehausan, mengobati yang terluka, serta mengangkut yang terbunuh dan terluka ke Madinah.
15. Perempuan muslimah memohon kepada Rasulullah saw. untuk mendoakan agar dirinya dapat mati syahid bersama pasukan pertama, dan permohonannya itu dikabulkan oleh Rasulullah saw.
16. Perempuan muslimah menghadiri shalat 'id bersama Rasulullah saw. dan kaum wanita mendapatkan wejangan khusus dari Rasulullah saw. seusai khotbah 'id.
17. Perempuan muslimah diperintahkan oleh Rasulullah saw. --meskipun masih gadis remaja dan dalam pingitan-- supaya keluar menghadiri shalat 'id agar dapat menyaksikan suatu pertemuan yang baik dan mengikuti doa orang-orang mukmin.
18. Perempuan muslimah diperintahkan oleh Rasulullah saw. --meskipun dalam keadaan haid-- supaya keluar menghadiri shalat 'id, tetapi agak menjauh dari tempat shalat. Tempat mereka adalah di belakang jamaah serta ikut bertakhir dan berdoa bersama mereka.

Dan sialnya, hal-hal tersebut diatas terdapat dalam kitab Shahih Muslim beserta Syarah Imam an-Nawawi.

Dan sialnya lagi yang mengejutkan adalah, bahwa hadits-hadits tersebut bertolak belakang sama sekali dengan apa yang kita pahami dan praktekkan selama ini, bahkan dengan apa yang dipahami dan dipraktekkan oleh berbagai kelompok keagamaan dan berbagai aliran, seperti organisasi asy-Syari'ah, Ikhwanul Muslimun, kelompok Sufi, kelompok Salaf, partai pembebasan Islam, dan lain-lain.

Berikut beberapa hadist yang mengutarakan tentang kebebasan perempuan;

Sebagai contoh adalah Aisyah r.a. Dia senang dan mendambakan sekali agar dirinya boleh ikut berjihad, sehingga dia berkata: "Wahai Rasulullah, kami melihat jihad itu adalah amalan yang paling afdal, apakah kami boleh ikut berjihad?" (HR Bukhari).

Selain itu ada Ummu Haram yang ingin mati syahid bersama pasukan marinir. Dia berkata: "Wahai Rasulullah, tolonglah doakan semoga Allah menjadikanku bersama mereka." Lalu Rasulullah saw. mendoakannya." (HR Bukhari).

Lihat pula seorang perempuan yang bekerja dengan tangannya sendiri, kemudian bersedekah dengan hasil usahanya itu. "Adalah Zainab binti Jahasy orang yang paling takwa kepada Allah, paling suka menyambung silaturrahim, paling banyak bersedekah, dan paling suka mengorbankan dirinya untuk melakukan pekerjaan yang dengan pekerjaan itu dia dapat bersedekah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT." (HR Muslim).

Ada pula sejumlah perempuan yang meminta dan mengharapkan diberi kesempatan yang lebih luas lagi untuk menimba ilmu pengetahuan dari Nabi saw. Sejumlah perempuan berkata kepada Nabi saw.: "Kami dikalahkan oleh kaum laki-laki dalam merebut kesempatanmu. Karena itu tolonglah engkau sediakan harimu untuk kami." (HR Bukhari dan Muslim).

Ada lagi sejumlah perempuan yang bersedekah dan berkorban lebih banyak daripada kaum laki-laki. Rasulullah saw. bersabda:
"Bersedekahlah, bersedekahlah kalian (kaum laki-laki), sebab yang sudah banyak bersedekah adalah dari kalangan perempuan." (HR Muslim).

Dan kini, di hari perempuan internasional ini semoga kita, laki-laki dan perempuan, bisa mengembalikan kebebasan perempuan seperti yang seharusnya.

Selamat hari perempuan internasional 2019.

Sumber: Kebebasan Wanita (Tahrirul-Ma'rah fi 'Ashrir-Risalah) Abdul Halim Abu Syuqqah (luk.tsipil.ugm.ac.id/kmi/islam/Wanita/W1/Pendahuluan.html)

Senin, 25 Februari 2019

Menagih Kesejahteraan Bangsa dari Sekedar Menyumbang Kuota Pulsa


Tiap anak sebenarnya punya mimpinya sendiri. Entah menjadi apa, mungkin orangtua tak tahu, atau mungkin orangtua malah tak mau mengerti. Tapi bukankah seharusnya itulah yang orangtua lakukan untuk anaknya, mengantarkan anak-anak pada mimpi mereka.

Kita mungkin sudah pernah mendengar, anak-anak adalah anak zamannya. Apakah zaman mereka zaman yang penuh teknologi, seperti sekarang ini, atau zaman yang penuh perjuangan, seperti zamannya Bung Karno dan Bung Hatta, orangtua tak sepenuhnya tahu.

Beberapa waktu lalu saya berbincang dengan seorang ibu yang sedang menghadapi anak perempuannya yang tidak mau mendengarkan saran ibunya agar anaknya kuliah jurusan bahasa Inggris, karena menurut ibunya, anaknya tersebut pintar bahasa Inggris.

Mungkin saran ibu tersebut terlihat benar, begitupun dimata kita semua, juga terlihat benar. Tapi begitu kita bertanya pada sang anak, sang anak berkata ingin kuliah jurusan politik.

Sang anak berkata, dia ingin membangun bangsa, mengabdi pada negaranya, Indonesia.

Dan jawaban ibunya atas mimpi sang anak tersebut terdengar realistis bagi semua orang, "negaramu nggak akan ngasih kamu makan nak! Kamu mau makan apa dari bangsamu ini. Kamu perlu cari makan sendiri!."

Sang anakpun tidak bisa mendebat ibunya, meskipun dia sudah cukup besar untuk menjawab perkataan ibunya.

Ya, kita cukup tahu nasib para pejuang bangsa, mati miskin, mati dipenjara, atau mati di pengasingan. Sengsara, sangat sengsara.

Lantas, tak perlu lagi kini kita bertanya, siapa yang akan memimpin bangsa ini karena kita sibuk memikirkan diri kita sendiri.

Karena masing-masing kita sibuk mengisi perut kita sendiri, toh kalau kita tua, anak-anak kita harus memberi kita makan dengan kemapaman mereka.

Atau mungkin masing-masing orangtua sibuk memikirkan agar di akhirat kelak dipakaikan mahkota oleh anak-anak mereka, tak perlu pikirkan bangsa dan dunia ini.

Kita mungkin perlu sadar, bangsa ini tidak akan besar jika kita hanya menyumbangkan kuota untuk menghujat lawan pilihan politik kita di medsos.

Bangsa tidak bisa dibangun hanya dengan sekedar memilih pada pemilu. Beberapa contoh negara yang hanya mengandalkan pemilu, terpuruk hari ini, jangankan berangan pemimpin beragama, berangan esok bisa selamat saja sudah beruntung.

Terpikirkah oleh sang ibu tersebut dan oleh kita semua, jika orangtua para pejuang bangsa kita dulu, berkata sama seperti ibu tersebut pada anak-anak mereka, agar tak perlu menjadi pejuang yang sangat menyiksa itu, tak perlu menjadi pejuang yang menghilangkan hargadiri bahkan nyawanya itu, mungkin hari ini kita belum merdeka?!

Andai, ibu itu mendengarkan anaknya tersebut. Mungkin beberapa tahun lagi, kita sudah memiliki patriot bangsa yang memperjuangkan bangsa ini.

Mungkin beberapa tahun kemudian, bangsa ini sudah menjadi lebih besar, karena anak-anak yang lain yang juga berjuang meraih mimpinya didukung oleh keluarga dan orang-orang sekitar mereka.

Mungkin bangsa ini sudah melesat maju dengan patriot-patriot bangsa yang berjuang dengan kesungguhan jiwa raga mereka.

Oleh sebab itu tak perlu kita orangtua masih memaksakan kehendak kita akan menjadi apa anak kita, akan sekolah dimana anak-anak kita.

Mungkin kita sudah terlalu lama bermain hunger games, sehingga racun "ketakutan" tak juga hilang dari pikiran kita.

Mungkin kita perlu bertanya pada anak-anak kita mau menjadi apa mereka dan ingin sekolah dimana mereka.

Untuk orangtua, anak muda, dan siapapun putra putri bangsa ini, mari kita sama-sama berjuang untuk bangsa kita, kemajuan negara ini.

Mari kita siapkan pemimpin-pemimpin bangsa sejak dini, mari kita pikirkan bangsa ini dengan berfikir apa yang bisa kita berikan untuk negara, bukan apa yang bisa kita dapat dari negara ini.

Sekarang ini adalah masa-masa untuk persiapan sekolah baru, mulai pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi. Selamat mencari sekolah baru untuk para orangtua dan selamat mengejar mimpi untuk anak-anak Indonesia.

Selasa, 23 Oktober 2018

Mari Berdiri di Tengah Bersama

Memahami kebencian kelompok nasionalis di Indonesia terhadap HTI, harus kita akui sama seperti memahami kebencian kelompok islam garis keras di Indonesia yang membenci PKI, Komunis, beserta gerakan-gerakan serupa, menurut kelompok islam garis keras di Indonesia tersebut.

***

Sejarah Indonesia terpampang jelas terkait dua hal yang dilarang Orde Baru dulu; NII dan PKI.

Langkah pelarangan NII dan PKI tersebut menurut saya, adalah salah satu kebijakan terbaik Soeharto, bapak Pembangunan Indonesia. Meskipun, asas tunggal banyak memakan korban. Tapi seperti halnya perjuangan kita menuju kemerdekaan, begitu pula mempertahankan kemerdekaan, jatuh korban adalah hal yang tidak bisa dihindari.

Pemilu pertama di Indonesia menjadi kaca, bahwa Indonesia terbagi dua kubu, kemenangan Islam dan Nasionalis yang hanya berbeda tipis. Saat itu nasionalis nampak seperti komunis. Dan tidak sedikit, hari ini, kubu islam masih membaca nasionalis sama dengan komunis.

****

Setelah kemerdekaan Indonesia, pemberontakan islam yang dikenal dengan DII/TII terjadi di sebagian Indonesia. Yang memadamkan pemberontakan tersebut bukan mustahil juga punya kecenderungan dengan pilihannya menjadi nasionalis atau islamis, dan pengaruh daerah asal tentara tersebut sedikit banyak tentunya mempengaruhi juga dalam pilihan politik mereka, apakah menjadi islamis atau nasionalis. Maklum, kita baru merdeka. Garis bangsa baru terbentuk, penyesuaian tentulah perlu waktu.

Saya teringat cerita ayah saya yang menceritakan kakek saya (almarhum), tentara bersuku Sumatera, dalam tugasnya menumpas DII/TII di Sumatera. Kakek berkata ketika perintah menumpas DII/TII turun, tentara di Sumatera bukannya menumpas DII/TII tapi malah mengulur-ulur waktu dan tidak melakukan penumpasan DII/TII. Dan ketika ransum tentara habis dalam penguluran perang di hutan, mereka diberi makan oleh rakyat sekitar gunung. Tidak ada bentuk peperangan terhadap DII/TII yang terjadi.

Karena lamanya penumpasan DII/TII yang tak kunjung selesai, Soekarno berang, lalu menarik tentara Sumatera tersebut untuk kemudian digantikan dengan mengirim Ahmad Yani untuk memimpin penumpasan DII/TII bersama tentara-tentara dari pulau Jawa. Tidak menunggu lama tumpaslah DII/TII.

Dalam sejarah mungkin nampak tentara menumpas islam garis keras.

Tapi satu hal yang perlu dipahami saat ini adalah, tentara-tentara di Sumatera saat itu tidak memerangi DII/TII bukan karena mereka tidak cinta NKRI, tapi karena mereka membenci PKI. Pemetaan secara samar saat itu bahwa pilihan hanya ada dua, PKI atau Islam. Membuat tentara di Sumatera bersikap enggan menumpas DII/TII.

****

Membaca islam bukan garis keras di Indonesia tidak semudah yang dikira. Begitupun membaca nasioalis di Indonesia, sama sulitnya.

Perjuangan perempuan Indonesia memakai hijab adalah salah satu buktinya.

Satu bentuk kesadaran keislaman seseorang, seperti berhijab, secara naluriah, memancing kecurigaan seorang nasionalis, apalagi seorang komunis sebenarnya.

Perempuan berhijab dianggap radikal, terlebih jika berhijab lebar, berkaus kaki, apalagi bercadar.

Begitupun kesadaran nasionalis seseorang, seperti ber-Pancasila, memancing kecurigaan seorang islamis, apalagi seorang islam garis keras sebenarnya.

Seseorang ber-Pancasila dianggap murtad, menantang Islam.

****

Penyadaran harusnya terjadi di kalangan intelektual, kita semua yang berpendidikan, kita semua yang ada di kota-kota.

Sejarah ulama yang memimpin pengusiran penjajah, yang telah dihapus oleh pengadu domba rakyat, harusnya kini diakui oleh semua pihak, apapun pilihan politiknya. Jangan lupakan sejarah, seperti kata Soekarno.

Keterbukaan juga harusnya terjadi di kalangan intelektual.

Jangan sampai kita terjebak dan menjadi buta akan pilihan posisi kita saat ini. Indonesia sudah selesai membahas garis yang diambil, pergulatan itu cukup panjang, dan melelahkan bagi para pejuang penentu garis bangsa saat itu. Sangat melelahkan.

Kita sudah selesai dengan masa itu. Bahkan kita sudah selesai dari masa penentuan garis bangsa, hingga pembangunan bangsa.

Indonesia sudah selesai dengan memilih Pancasila.

Hilangkan kecurigaan terhadap kesadaran keislaman ataupun kenasionalisan seseorang.

Biarkan penegak hukum menumpas yang tidak seharusnya ada di negeri ini, para pemilih garis keras, ke kanan ataupun ke kiri. Islam garis keras ataupun PKI.

Mari kita berdiri di tengah bersama-sama membawa bangsa kita menuju pemimpin global dunia. Selesaikan pertikaian ini, terangkan pikiran kita, lapangkan dada kita, untuk Indonesia jaya.

Sabtu, 01 September 2018

Dan Kita Ikut Lupa


Indonesia seakan merayakan sebuah kemenangan yang sebenarnya dibanding kemenangan atlit dalam Asian Games.

Seakan kita diberitahu bahwa masalah besar bangsa ini sudah terselesaikan.

Dan kemudian kita ikut lupa, atlit itu sendiri yang tak kunjung sejahtera.

Dan kemudian kita ikut lupa, listrik yang semakin mahal.

Kita ikut lupa sembako yang tidak lagi murah.

Kita ikut lupa kekayaan tanah negeri yang tak lagi dimiliki anak bangsa sendiri.

Kita ikut lupa kekerasan kemanusiaan yang tak hentinya terjadi dinegeri ini.

Kita ikut lupa makin lemahnya rupiah sehingga pengusaha negeri makin kebingungan.

Kita ikut lupa korban terdampak gempa Lombok makin kedinginan ditenda lusuh.

Kita ikut lupa perut rakyat yang lapar dan mulai mengurangi makan agar tak makin terbebani hidup.

Kita ikut lupa turun ke jalan untuk menyuarakan suara rakyat hingga emak-emak turun sendiri, padahal mereka tak paham politik, mereka pikir politik hanya hitam dan putih.

Kita ikut lupa..

Selasa, 21 Maret 2017

OPPOSED



Dalam keadaan apapun kita selalu tak terima ketika ada yang opposed terhadap pilihan kita…
Kita berfikir bahwa opposed adalah orang yang ingin menghalangi kita
Kita tak pernah bisa menerima apapun yang opposed sampaikan
Itu terasa seperti halangan, terasa seperti penghambat
Menghalangi kemajuan kita
Itu yang terpikir
Tapi, biasanya, seiring berjalannya waktu
Opposed ternyata benar
Ternyata yang opposed sampaikan kemarin benar adanya
Ternyata opposed adalah orang yang mencoba mengingatkan kita bahwa ada yang perlu dibenahi
Ada yang perlu dirapikan
Agar apa yang kita lakukan menjadi sempurna, untuk kita, untuk semua.

Sebelum Kopi Terlanjur Dingin



Kopi hitam yang saya seduh masih tersisa setengah, belum sempat saya habiskan, namun sudah terlanjur dingin. Apalah nikmatnya kopi dingin.

Pikiran saya melayang pada saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar, saat itu saya tinggal di rumah kontrakan di pojokan pondok bambu, pinggir kali tanah abang. Hari itu ibu dan ayah saya bertengkar, karena 2 hal yang selalu terus berulang, jika bukan karena ricuhnya keluarga ayah saya yang melarang saya bersekolah karena biaya yang diperlukan untuk sekolah menyulitkan ayah saya, pastilah karena perempuan.

Ah, saya lelah mendengar pertengkaran ini.

saya anak perempuan yang dibela ibu untuk sekolah malah lebih dekat kepada ayah, mungkin karena ayah lebih bisa mengambil hati saya. Ibu lebih banyak bicara apa yang harus saya lakukan sebagai wanita, sebagai manusia, dan sebagai hamba daripada bicara untuk mengambil hati saya.

Dan bila pertengkaran terjadi karena perempuan, saya yang saat itu masih dibangku sekolah dasar awal terus berfikir, apa yang membuat ibu saya tidak terima kedekatan suaminya dengan perempuan lain? apa yang seharusnya dilakukan seorang perempuan bila nanti dewasa?

Lalu saya mulai mengerti sedikit demi sedikit ketika mulai jatuh cinta, ketika ada seseorang yang menurut saya menyukai saya, ketika saya semakin dewasa saya semakin mengerti bahwa hubungan laki-laki dan perempuan adalah hubungan yang rumit.

Saya berfikir, jika saya nanti menikah apakah saya bisa tetap menjaga diri saya untuk suami saya? Apakah suami saya bisa tetap setia untuk saya? Apakah saya akan bisa bertahan dengan keadaan yang mengharuskan saya sebagai perempuan dengan kewajiban sebagai istri?

Ah, ini terlalu menyakitkan, mungkin untuk saya, atau untuk suami saya...

Lebih baik saya tidak usah menikah.

Bukankah itu solusi terbaik untuk diri saya, juga untuk orang yang mungkin akan saya sakiti?

Sebelum kopi terlanjur dingin…

(Catatan seseorang di tahun 2000)